Gudeg Jogja, Gudeg Jogja Enak, Tentang Gudeg Bu
Tjitro
Produk terbaru Restaurant Gudeg Bu Tjitro berupa Gudeg Kaleng Bu Tjitro
ternyata melalui proses yang panjang. Diawali resep gudeg dari neneknya Jatu
Dwi Kumalasari, pemilik sekaligus pengelola rumah makan Gudeg Bu Tjitro. Resep
petama yaitu gudeg dalam kendil dilapisi daun pisang yang biasanya untuk
keperluan oleh – oleh. Kemudian, agar keawetannya lebih terjamin, sejak enam
tahun lalu, digunakan alumunium foil untuk melapisi daun pisang. Baru pada 2004
terpikir untuk mengalengkannya. Langkah
pertama berawal dari browsing di internet, pada 2008, Jatu menemukan informasi
tentang keberhasilan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yogyakarta dalam
mengalengkan beberapa jenis makanan tradisional, seperti lombok hijau dan
mangut lele. Dengan informasi tersebut Jatu mengajak bekerjasama
dengan LIPI. Tidak langsung berhasil. Setelah uji coba bertahun – tahun, baru
bisa menemukan komposisi yang tepat. Pada 2011 gudeg kaleng mulai diproduksi.
Kendala yang muncul di awal adalah proses pengalengan dan rasa tidak seperti
yang diinginkan.
Agar rasa
gudeg kaleng tidak berbeda dengan yang disajikan di rumah makan, Jatu
memberikan perlakuan khusus terhadap nangka agar rasanya tidak getir. Beberapa
bumbu pun ditambahkan. Misalnya, apabila bawang putih untuk gudeg biasa hanya
lima, gudeg kaleng sepuluh siung. Kini, produk bermerek dagang Gudeg
Kaleng Bu Tjitro itu mendapat sertifikasi dari badan pengawas obat dan makanan
(BPOM) dan label halal dari Majelis Ulama Indonesia. Selain rasanya bisa
dipertahankan, juga berhasil menghindari penyedap dan bahan pengawet.
Berbagai kendala dihadapi Jatu dalam melakukan riset pengalengan gudeg. Mulai proses memasak gudeg, pencarian bahan kaleng yang pas, hingga pengurusan izin. Bahkan untuk pencarian kaleng sampai keliling dari Surabaya hingga Jakarta. Akhirnya berhasil mendapatkan kaleng yang tepat untuk gudeg kaleng dari produsen di Jakarta. Namun untuk tutup kaleng, ia masih kesulitan. Sebab ia ingin mengacu pada sistem pengalengan berstandar internasional yang memungkinkan kaleng dibuka dengan mudah. Untuk tutup kaleng semacam itu, ia tidak bisa mendapatkannya di dalam negeri. Kalaupun ada harganya terbilang mahal sehingga ia harus mengimpor langsung dari luar negeri.
Awalnya Gudeg Kaleng Bu Tjitro memproduksi 500 buah kaleng setiap minggu. Sekarang seminggu sudah dua kali produksi, masing – masing 1000 kaleng. Ke depan akan mengalengkan seminggu tiga kali. Untuk keperluan tersebut membutuhkan 50 kilogram nangka dari lampung setiap kali produksi. Dari Memproduksi Gudeg Kaleng tersebut, Jatu Dwi Kumalasari berhasil melakukan dua gebrakan sekaligus. Ia menyelamatkan usaha keluarga yang nyaris karam dan bisa memperkenalkan gudeg kaleng sebagai oleh – oleh baru dari Yogyakarta. (Sumber: www.gudegkalengjogja.com)
Berbagai kendala dihadapi Jatu dalam melakukan riset pengalengan gudeg. Mulai proses memasak gudeg, pencarian bahan kaleng yang pas, hingga pengurusan izin. Bahkan untuk pencarian kaleng sampai keliling dari Surabaya hingga Jakarta. Akhirnya berhasil mendapatkan kaleng yang tepat untuk gudeg kaleng dari produsen di Jakarta. Namun untuk tutup kaleng, ia masih kesulitan. Sebab ia ingin mengacu pada sistem pengalengan berstandar internasional yang memungkinkan kaleng dibuka dengan mudah. Untuk tutup kaleng semacam itu, ia tidak bisa mendapatkannya di dalam negeri. Kalaupun ada harganya terbilang mahal sehingga ia harus mengimpor langsung dari luar negeri.
Awalnya Gudeg Kaleng Bu Tjitro memproduksi 500 buah kaleng setiap minggu. Sekarang seminggu sudah dua kali produksi, masing – masing 1000 kaleng. Ke depan akan mengalengkan seminggu tiga kali. Untuk keperluan tersebut membutuhkan 50 kilogram nangka dari lampung setiap kali produksi. Dari Memproduksi Gudeg Kaleng tersebut, Jatu Dwi Kumalasari berhasil melakukan dua gebrakan sekaligus. Ia menyelamatkan usaha keluarga yang nyaris karam dan bisa memperkenalkan gudeg kaleng sebagai oleh – oleh baru dari Yogyakarta. (Sumber: www.gudegkalengjogja.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar